Pembentukan Unit Audit Internal
mengacu pada POJK No. 56/POJK.04/2015 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan
Piagam Audit Internal. Audit Internal merupakan organ tata kelola yang dibentuk
guna memberikan nilai tambah melalui kegiatan audit (assurance) dan konsultasi
(consulting) yang dilakukan secara objektif, independen dan profesional. Audit
Internal berfungsi untuk melalukan penilaian dan evaluasi atas kinerja
Manajemen risiko, efektivitas proses pengendalian internal dan tata kelola
serta memberikan konsultasi sesuai kebutuhan.
Sesuai dengan Piagam Audit
Internal Perseroan, penerapan audit internal atas tata kelola dan kinerja
Perseroan dilaksanakan oleh Unit Audit Internal yang dipimpin oleh Kepala Audit
Internal yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Direktur.
Auditor Internal menerapkan nilai
dan kode-kode etik sebagai berikut:
1. Integritas
Integritas membangun kepercayaan dan
memberikan dasar landasan penilaian audito internal.
2. Objektivitas
Auditor
internal menunjukkan objektivitas professional tingkat tertinggi dalam
mengumpulkan mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan atau
proses yang sedang diperiksa. Auditor
internal membuat penilaian yang seimbang dari semua keadaan yang relevan dan
tidak dipengaruhi
oleh kepentingankepentingan mereka sendiri ataupun orang lain.
3. Kerahasiaan
Auditor
internal menghormati nilai dan kepemilikan informasi yang mereka terima dan
tidak mengungkapkan informasi tanpa izin kecuali ada ketentuan
perundanganundangan atau kewajiban profesional untuk melakukannya.
4. Kompetensi
Auditor internal
menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan dalam pelaksanaan layanan Audit Internal.
Dewan Komisaris merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan tugas mengelola Perseroan untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku, Anggaran Dasar serta prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik. Dewan Komisaris dalam menjalankan jabatannya bertindak secara kolektif (jabatan kolektif) sehingga anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri tetapi berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
Kedudukan masing-masing anggota Dewan Komisaris adalah setara, dan Presiden Komisaris bertugas mengkoordinasikan berbagai kegiatan dan tugas Dewan Komisaris.
Seluruh anggota Dewan Komisaris merupakan profesional yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (‘RUPS’) Perseroan sesuai dengan kompetensinya melalui proses seleksi.
Direksi merupakan Organ Perseroan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial dalam melakukan pengurusan dan mengelolan Perseroan untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku, Anggaran Dasar serta prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik. Setiap tindakan anggota Direksi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya, namun pelaksanaannya tetap merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh anggota Direksi.
Kedudukan masing-masing anggota Direksi setara, dan Presiden Direktur bertugas mengkoordinasikan berbagai kegiatan dan tugas anggota Direksi.
Seluruh anggota Direksi merupakan profesional yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (‘RUPS’) Perseroan sesuai dengan kompetensinya melalui proses seleksi
Dalam rangka mewujudkan tata kelola Perseroan yang baik serta merujuk pada Anggaran Dasar PT. Metropolitan Land, Tbk (“Perseroan”) dan perubahannya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan peraturan di bidang Pasar Modal, khususnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.04/2014 tentang Komite Nominasi dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik yang mengatur bahwa Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki fungsi nominasi dan remunerasi dan untuk pelaksanaan fungsi tersebut, Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi (“Komite”).
Dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya, Komite wajib memiliki panduan yang meliputi pedoman kerja dan tata tertib kerja yang harus diketahui dan bersifat mengikat bagi setiap anggota Komite.
Komite Audit adalah organ pendukung Dewan Komisaris yang bertugas membantu pengawasan dan memberikan masukan terkait laporan keuangan, sistem pengendalian internal, audit, serta kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Komite Audit bertanggung jawab memastikan bahwa manajemen melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik dan regulasi yang berlaku.
Anggota Komite Audit bekerja secara kolektif, dan Ketua Komite Audit berperan dalam mengkoordinasikan tugas dan kegiatan Komite Audit.
Seluruh anggota Komite Audit adalah profesional yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris berdasarkan kompetensi dan melalui proses seleksi yang ketat sesuai dengan ketentuan perusahaan.
Penerapan nilai dan kode etik Perseroan dituangkan dalam Pedoman Perilaku Metland dan disosialisasikan secara intensif kepada seluruh anggota perusahaan. Kode etik Perseroan berlaku secara universal kepada seluruh tingkat jabatan tanpa terkecuali. Dengan menerapkan kode etik dan nilai-nilai perusahaan, Perseroan meyakini bahwa sikap dan karakter Perseroan akan membudaya dalam setiap diri individu Perseroan dan tercermin melalui aktivitas seharihari.
Perseroan menindak tegas dan memberikan sanksi yang pantas kepada anggota perusahaan yang tidak mematuhi kode etik yang telah disepakati. Implementasi dan penegakan kode etik merupakan landasan dasar aktivitas bisnis yang dijalankan Perseroan serta pilar utama pembangunan reputasi Perseroan di mata pemangku kepentingan dan publik.
Whistleblowing
system (WBS) merupakan salah satu
sarana komunikasi yang disediakan Perusahaan untuk mengadukan atau memberikan informasi yang
berhubungan dengan tindakan perbuatan/perilaku/peristiwa/kejadian pelanggaran,
penyalahgunaan dan penipuan terhadap hukum, peraturan perusahaan, kode etik,
dan benturan kepentingan yang dilakukan oleh pihak internal Perseroan.
Mekanisme yang dijalankan oleh Perusahaan dalam sistem pelaporan pelanggaran adalah melaluipenyediaan saluran khusus
berupa dokumen secara confidential/rahasia yang ditujukan kepada Presiden
Direktur. Preslden Direktur menerima laporan pelanggaran dan menganalisa
laporan tersebut. Jika hasil analisa Presiden Direktur
menemukan indikasi pelanggaran maka Presiden Direktur akan berdiskusi dengan
PIC (Person in Charge) yang ditunjuk Presiden Direktur untuk tindakan lanjutan
atau investigasi. Apabila indikasi pelanggaran ditindaklanjuti dengan investigasi
dan hasilnya pihak terlapor terbukti melakukan pelanggaran maka akan diberikan
sanksi seusai Peraturan Perusahaan. Bila pelanggaran tersebut mengarah ke
tindak pidana, maka dapat ditindaklanjuti ke proses hukum yang berlaku.
Manfaat pengembangan sistem
pelaporan pelanggaran di antaranya yaitu sebagai penyediaan mekanisme deteksi
dini (early worning system) atas kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu
pelanggaran. Dan bagi pelapor diberikan jaminan perlindungan serta kerahasiaan
terhadap setiap pengaduan/pengungkapan. Adapun mekanisme penyampaian pelaporan pelanggaran dapat ditujukan kepada Presiden Direktur melalui
email [email protected].
Setiap industri memiliki profil
dan jenis risiko yang berbedabeda. Sebagai perusahaan properti, Perseroan
senantiasa mengidentifikasi, menganalisis dan memitigasi risiko usaha sejak
dini. Proses ini diterapkan melalui aktivitas Manajemen risiko, yaitu sebuah
proses dan tahapan terstruktur dalam mengelola risiko secara terintegrasi.
Melalui proses manajemen risiko yang tepat guna dan tepat analisis, Perseroan
mampu memproyeksikan probabilitas dan potensi risiko yang dapat terjadi di
kemudian hari sehingga Perseroan mampu meminimalisir dan mengatasi risiko dan
tantangan yang mampu mempengaruhi kinerja Perseroan.
Sistem Manajemen Risiko
diimplementasikan di setiap unit kerja sejak 2013 dan diimplementasikan melalui
beberapa tahap pelaksanaan:
1. Level Proyek
a. Sistem manajemen risiko yang dilakukan di level proyek dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Proses penerapan manajemen risiko pada level ini sudah mulai terintegrasi dengan departemen maupun kantor pusat.
b. Pelaporan yang dilakukan merupakan hasil dari rapat koordinasi dari semua
fungsi di proyek dan sudah
mulai melaporkan risiko-risiko yang ada dari masingmasing fungsi.
c.
Identifikasi risiko untuk proyek yang berskala besar atau mempunyai teknologi
yang cukup kompleks belum terarah. Masih banyak risiko yang
teridentifikasi setelah risiko terealisasi. Hal ini sangat terkait dengan kompetensi SDM yang ada.
2. Level Operasional
a. Sistem manajemen risiko yang dilakukan di level operasional berdasarkan sistem manajemen risiko yang ada dalam prosedur yang telah dilaksanakan, terutama dalam review dan monitoring risiko yang sudah diidentifikasi pada saat RKAP. Hubungan risiko proyek dengan risiko operasional dimanfaatkan untuk mengidentifikasi risiko di proyek, yang seharusnya dapat digunakan untuk operasional dan manajemen informasi.
b. Identifikasi risiko pada saat perolehan kontrak sudah mulai terperinci, tetapi
belum terfokus pada risiko sebenarnya dari proyek yang akan dikerjakan. Kendalanya adalah
belum adanya pemanfaatan maksimal terhadap referensi dari proyek-proyek yang pernah dihadapi
sebelumnya. Selain itu, serah terima risiko, dari tim tender dan tim pelaksana baru dilaksanakan di
beberapa proyek saja.
c. Cross function terhadap departemen fungsional, terkait dari tindak
lanjut yang dilaksanakan oleh bagian operasional, belum berjalan
dengan baik. Hal ini terlihat dari belum maksimalnya
pemanfaatan fasilitas kantor pusat ke
bagian operasional.
3. Level Fungsional (Kantor Pusat)
a. Proses
manajemen risiko fungsional sudah dilakukan. Tidak berbeda dengan bagian
operasional, proses sistem manajemen risiko belum
terintegrasi secara optimal dengan operasional dan proyek.
b.
Pemantauan terhadap tindak lanjut yang sudah direncanakan dalam RKAP
operasional belum dilaksanakan
secara optimal. Hal ini terlihat dari tidak lengkapnya pendataan risiko yang telah diidentifikasi dalam RKAP. Akibatnya, proses tanggapan tidak berjalan
dengan semestinya.
c. Identifikasi risiko fungsional dalam proses bisnis belum terlihat
sebagai fungsi pendukung bagi operasional dan proyek selaku bisnis
inti Perseroan.
Pembentukan Unit Audit Internal
mengacu pada POJK No. 56/POJK.04/2015 tentang Pembentukan dan Pedoman Penyusunan
Piagam Audit Internal. Audit Internal merupakan organ tata kelola yang dibentuk
guna memberikan nilai tambah melalui kegiatan audit (assurance) dan konsultasi
(consulting) yang dilakukan secara objektif, independen dan profesional. Audit
Internal berfungsi untuk melalukan penilaian dan evaluasi atas kinerja
Manajemen risiko, efektivitas proses pengendalian internal dan tata kelola
serta memberikan konsultasi sesuai kebutuhan.
Sesuai dengan Piagam Audit
Internal Perseroan, penerapan audit internal atas tata kelola dan kinerja
Perseroan dilaksanakan oleh Unit Audit Internal yang dipimpin oleh Kepala Audit
Internal yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Direktur.
Auditor Internal menerapkan nilai
dan kode-kode etik sebagai berikut:
1. Integritas
Integritas membangun kepercayaan dan
memberikan dasar landasan penilaian audito internal.
2. Objektivitas
Auditor
internal menunjukkan objektivitas professional tingkat tertinggi dalam
mengumpulkan mengevaluasi, dan mengkomunikasikan informasi tentang kegiatan atau
proses yang sedang diperiksa. Auditor
internal membuat penilaian yang seimbang dari semua keadaan yang relevan dan
tidak dipengaruhi
oleh kepentingankepentingan mereka sendiri ataupun orang lain.
3. Kerahasiaan
Auditor
internal menghormati nilai dan kepemilikan informasi yang mereka terima dan
tidak mengungkapkan informasi tanpa izin kecuali ada ketentuan
perundanganundangan atau kewajiban profesional untuk melakukannya.
4. Kompetensi
Auditor internal
menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan dalam pelaksanaan layanan Audit Internal.
Dewan Komisaris merupakan Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi dalam melaksanakan tugas mengelola Perseroan untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku, Anggaran Dasar serta prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik. Dewan Komisaris dalam menjalankan jabatannya bertindak secara kolektif (jabatan kolektif) sehingga anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri tetapi berdasarkan keputusan Dewan Komisaris.
Kedudukan masing-masing anggota Dewan Komisaris adalah setara, dan Presiden Komisaris bertugas mengkoordinasikan berbagai kegiatan dan tugas Dewan Komisaris.
Seluruh anggota Dewan Komisaris merupakan profesional yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (‘RUPS’) Perseroan sesuai dengan kompetensinya melalui proses seleksi.
Direksi merupakan Organ Perseroan yang bertugas dan bertanggung jawab secara kolegial dalam melakukan pengurusan dan mengelolan Perseroan untuk mencapai maksud dan tujuan Perseroan sesuai dengan Peraturan Perundangan yang berlaku, Anggaran Dasar serta prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik. Setiap tindakan anggota Direksi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan pembagian tugas dan wewenangnya, namun pelaksanaannya tetap merupakan tanggung jawab bersama dari seluruh anggota Direksi.
Kedudukan masing-masing anggota Direksi setara, dan Presiden Direktur bertugas mengkoordinasikan berbagai kegiatan dan tugas anggota Direksi.
Seluruh anggota Direksi merupakan profesional yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (‘RUPS’) Perseroan sesuai dengan kompetensinya melalui proses seleksi
Dalam rangka mewujudkan tata kelola Perseroan yang baik serta merujuk pada Anggaran Dasar PT. Metropolitan Land, Tbk (“Perseroan”) dan perubahannya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan peraturan di bidang Pasar Modal, khususnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 34/POJK.04/2014 tentang Komite Nominasi dan Remunerasi Emiten atau Perusahaan Publik yang mengatur bahwa Emiten atau Perusahaan Publik wajib memiliki fungsi nominasi dan remunerasi dan untuk pelaksanaan fungsi tersebut, Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Nominasi dan Remunerasi (“Komite”).
Dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya, Komite wajib memiliki panduan yang meliputi pedoman kerja dan tata tertib kerja yang harus diketahui dan bersifat mengikat bagi setiap anggota Komite.
Komite Audit adalah organ pendukung Dewan Komisaris yang bertugas membantu pengawasan dan memberikan masukan terkait laporan keuangan, sistem pengendalian internal, audit, serta kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Komite Audit bertanggung jawab memastikan bahwa manajemen melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip Tata Kelola Perusahaan yang baik dan regulasi yang berlaku.
Anggota Komite Audit bekerja secara kolektif, dan Ketua Komite Audit berperan dalam mengkoordinasikan tugas dan kegiatan Komite Audit.
Seluruh anggota Komite Audit adalah profesional yang ditunjuk oleh Dewan Komisaris berdasarkan kompetensi dan melalui proses seleksi yang ketat sesuai dengan ketentuan perusahaan.
Penerapan nilai dan kode etik Perseroan dituangkan dalam Pedoman Perilaku Metland dan disosialisasikan secara intensif kepada seluruh anggota perusahaan. Kode etik Perseroan berlaku secara universal kepada seluruh tingkat jabatan tanpa terkecuali. Dengan menerapkan kode etik dan nilai-nilai perusahaan, Perseroan meyakini bahwa sikap dan karakter Perseroan akan membudaya dalam setiap diri individu Perseroan dan tercermin melalui aktivitas seharihari.
Perseroan menindak tegas dan memberikan sanksi yang pantas kepada anggota perusahaan yang tidak mematuhi kode etik yang telah disepakati. Implementasi dan penegakan kode etik merupakan landasan dasar aktivitas bisnis yang dijalankan Perseroan serta pilar utama pembangunan reputasi Perseroan di mata pemangku kepentingan dan publik.
Whistleblowing
system (WBS) merupakan salah satu
sarana komunikasi yang disediakan Perusahaan untuk mengadukan atau memberikan informasi yang
berhubungan dengan tindakan perbuatan/perilaku/peristiwa/kejadian pelanggaran,
penyalahgunaan dan penipuan terhadap hukum, peraturan perusahaan, kode etik,
dan benturan kepentingan yang dilakukan oleh pihak internal Perseroan.
Mekanisme yang dijalankan oleh Perusahaan dalam sistem pelaporan pelanggaran adalah melaluipenyediaan saluran khusus
berupa dokumen secara confidential/rahasia yang ditujukan kepada Presiden
Direktur. Preslden Direktur menerima laporan pelanggaran dan menganalisa
laporan tersebut. Jika hasil analisa Presiden Direktur
menemukan indikasi pelanggaran maka Presiden Direktur akan berdiskusi dengan
PIC (Person in Charge) yang ditunjuk Presiden Direktur untuk tindakan lanjutan
atau investigasi. Apabila indikasi pelanggaran ditindaklanjuti dengan investigasi
dan hasilnya pihak terlapor terbukti melakukan pelanggaran maka akan diberikan
sanksi seusai Peraturan Perusahaan. Bila pelanggaran tersebut mengarah ke
tindak pidana, maka dapat ditindaklanjuti ke proses hukum yang berlaku.
Manfaat pengembangan sistem
pelaporan pelanggaran di antaranya yaitu sebagai penyediaan mekanisme deteksi
dini (early worning system) atas kemungkinan terjadinya masalah akibat suatu
pelanggaran. Dan bagi pelapor diberikan jaminan perlindungan serta kerahasiaan
terhadap setiap pengaduan/pengungkapan. Adapun mekanisme penyampaian pelaporan pelanggaran dapat ditujukan kepada Presiden Direktur melalui
email [email protected].
Setiap industri memiliki profil
dan jenis risiko yang berbedabeda. Sebagai perusahaan properti, Perseroan
senantiasa mengidentifikasi, menganalisis dan memitigasi risiko usaha sejak
dini. Proses ini diterapkan melalui aktivitas Manajemen risiko, yaitu sebuah
proses dan tahapan terstruktur dalam mengelola risiko secara terintegrasi.
Melalui proses manajemen risiko yang tepat guna dan tepat analisis, Perseroan
mampu memproyeksikan probabilitas dan potensi risiko yang dapat terjadi di
kemudian hari sehingga Perseroan mampu meminimalisir dan mengatasi risiko dan
tantangan yang mampu mempengaruhi kinerja Perseroan.
Sistem Manajemen Risiko
diimplementasikan di setiap unit kerja sejak 2013 dan diimplementasikan melalui
beberapa tahap pelaksanaan:
1. Level Proyek
a. Sistem manajemen risiko yang dilakukan di level proyek dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada. Proses penerapan manajemen risiko pada level ini sudah mulai terintegrasi dengan departemen maupun kantor pusat.
b. Pelaporan yang dilakukan merupakan hasil dari rapat koordinasi dari semua
fungsi di proyek dan sudah
mulai melaporkan risiko-risiko yang ada dari masingmasing fungsi.
c.
Identifikasi risiko untuk proyek yang berskala besar atau mempunyai teknologi
yang cukup kompleks belum terarah. Masih banyak risiko yang
teridentifikasi setelah risiko terealisasi. Hal ini sangat terkait dengan kompetensi SDM yang ada.
2. Level Operasional
a. Sistem manajemen risiko yang dilakukan di level operasional berdasarkan sistem manajemen risiko yang ada dalam prosedur yang telah dilaksanakan, terutama dalam review dan monitoring risiko yang sudah diidentifikasi pada saat RKAP. Hubungan risiko proyek dengan risiko operasional dimanfaatkan untuk mengidentifikasi risiko di proyek, yang seharusnya dapat digunakan untuk operasional dan manajemen informasi.
b. Identifikasi risiko pada saat perolehan kontrak sudah mulai terperinci, tetapi
belum terfokus pada risiko sebenarnya dari proyek yang akan dikerjakan. Kendalanya adalah
belum adanya pemanfaatan maksimal terhadap referensi dari proyek-proyek yang pernah dihadapi
sebelumnya. Selain itu, serah terima risiko, dari tim tender dan tim pelaksana baru dilaksanakan di
beberapa proyek saja.
c. Cross function terhadap departemen fungsional, terkait dari tindak
lanjut yang dilaksanakan oleh bagian operasional, belum berjalan
dengan baik. Hal ini terlihat dari belum maksimalnya
pemanfaatan fasilitas kantor pusat ke
bagian operasional.
3. Level Fungsional (Kantor Pusat)
a. Proses
manajemen risiko fungsional sudah dilakukan. Tidak berbeda dengan bagian
operasional, proses sistem manajemen risiko belum
terintegrasi secara optimal dengan operasional dan proyek.
b.
Pemantauan terhadap tindak lanjut yang sudah direncanakan dalam RKAP
operasional belum dilaksanakan
secara optimal. Hal ini terlihat dari tidak lengkapnya pendataan risiko yang telah diidentifikasi dalam RKAP. Akibatnya, proses tanggapan tidak berjalan
dengan semestinya.
c. Identifikasi risiko fungsional dalam proses bisnis belum terlihat
sebagai fungsi pendukung bagi operasional dan proyek selaku bisnis
inti Perseroan.